Membentuk Karakter Anak Melalui Cerita
Ketika televisi belum banyak dimiliki orang, hiburan
anak-anak kala itu –selain bermain, tentunya—adalah mendengarkan cerita
dari para orang tua di sekitar mereka, entah ayah, ibu, kakek, nenek,
atau yang lainnya. Dalam suasana hangat, anak-anak dengan penuh minat
dan rasa ingin tahu mendengarkan berbagai cerita yang dibawakan
orang-orang tua mereka.
Suasana seperti itu kini jarang sekali kita lihat. Cerita
dan dongeng yang disampaikan orangtua berganti dengan tayangan film-film
di televisi. Anak-anak terpaku di depan layar televisi, sementara
orangtua mengerjakan kegiatan lainnya atau malah kadang orang tua dan anak berebut remot TV. (baca juga : Kenapa anak suka berbohong?)
Islam, kaya kisah teladan
Arti ‘dongeng’ sendiri adalah cerita fiktif atau rekaan belaka. Dalam dongeng ada
unsur keindahan, kehangatan, juga imajinasi. Dalam dongeng semua makhluk khayalan bisa tercipta,
seperti pohon dan binatang yang bisa bicara.
Sementara, untuk sejarah yang berisi cerita kepahlawanan dan teladan
kebaikan bisa masuk dalam kategori kisah. Namun, pengistilahan ini tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah
kegiatan bercerita itu sendiri, yaitu bagaimana nilai-nilai kebaikan
disampaikan kepada anak melalui cara bercerita yang menarik.
Soal keefektifan cerita dalam membentuk karakter anak tak diragukan
lagi, bahkan mampu membangun karakter bangsa. Berdasarkan
sebuah sumber, majunya Inggris dibanding
Spanyol pada masa kolonialisme akibat dongeng dan kisah-kisah
kepahlawanan yang sering diceritakan orangtua pada anak-anaknya. Tak
heran negara jajahan Inggris di berbagai belahan dunia, dari Asia sampai
Afrika, lebih banyak daripada Spanyol.
Bila saja kebiasaan bercerita ini dilakukan masyarakat Muslim dengan
tak lupa mengambil kisah-kisah kepahlawanan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya, sangat mungkin masa kejayaan Islam akan cepat kembali.
Betapa lengkap teladan kebaikan yang ada dalam kisah Rasul
dan para sahabatnya. Berbagai karakter ada di situ. Ada kisah tentang
jiwa ksatria, jiwa pengusaha. Banyak contohnya dan itu nyata, bukan
dongeng! Sementara kalau cerita dari orang Barat itu kan kebanyakan
dongeng. Apalagi bila masyarakat Muslim lebih memperkaya jenis dongeng dengan
tetap berpijak kepada ajaran Islam, maka semakin banyak alternatif
cerita yang bisa dikembangkan dan diceritakan kepada anak-anak kita.
Dalam Al-Quran kisah-kisah teladan pun bertebaran. Bahkan sebagian
besar isi Al-Quran berupa kisah. Kisah kepahlawanan dan kisah penuh
motivasi lainnya, tak kurang-kurangnya diurai dalam Al-Quran, Hadits dan
sumber lainnya. Namun, herannya entah kenapa generasi Muslim tetap saja
melempem. “Mungkin karena orang Islam telah mengabaikan kisah-kisah
ini. Tak banyak
orangtua yang menceritakan kisah-kisah itu pada anak-anaknya. Yang masuk
ke rumah-rumah keluarga Muslim bukan lagi kisah teladan dalam Islam,
tapi kisah-kisah rekaan yang tak jelas, semacam Kancil Mencuri Timun dan sebagainya.
Mengapa mendongeng kurang diminati? Mungkin sebagaimana pola pendidikan
lainnya, ia tidak menunjukkan hasil yang instan. Padahal dongeng atau
cerita-cerita teladan banyak masuk ke alam bawah sadar, di mana alam
bawah sadar inilah yang kemudian paling berperan membentuk karakter atau
akhlak seorang anak. Jadi kalau dongeng itu diceritakan terus menerus,
maka yang masuk ke alam bawah sadarnya semakin banyak. Nah, kalau
ceritanya yang baik-baik, maka yang masuk ke alam bawah sadarnya tentu
yang baik-baik pula. Kalau yang diceritakan orangtua kisah-kisah
kepahlawanan, kebaikan, persahabatan, maka akan seperti itulah sifat
anak nantinya.
Bayangkan saja kalau yang masuk ke alam bawah sadar anak justru cerita
dan materi yang penuh kekerasan dan vulgar, maka akhlak atau karakter
anak seperti apa yang akan tercipta kemudian?
Menjalin kedekatan antara orangtua dan anak
Saat mendongeng atau bercerita selain terjadi transfer
nilai, terjalin juga kedekatan antara orangtua dan anak. Ketika
mendengar dongeng atau cerita lainnya dari orangtua, anak-anak akan
semakin merasa dekat dan terikat dengan orangtuanya. Saat mendengarkan
dongeng, anak-anak akan terikat dengan tokoh dalam cerita dan orang yang
bercerita (orang tua). Ikatan emosionalnya itu kuat.
Kalau dengan televisi, mereka tidak akan terikat sedemikian kuat.
Bagi anak, kedekatan ini dapat mengalahkan kegiatan
lainnya. Menurut Eka, dengan amat mudah anak-anak akan berpaling dari
televisi, game, dan sebagainya demi mendengarkan orangtuanya bercerita.
Apalagi bila selama bercerita orangtua juga menyentuh dan memeluk anak,
membelai rambutnya, kehangatan dan kasih sayang tentu akan mengalir.
Sentuhan ini selain menambah kedekatan juga akan membuat anak bertambah
cerdas. Setiap kali dipeluk, anak akan merasa bahagia. Nah, perasaan
bahagia ini akan membuat anak mudah menyerap informasi dan membuat
neuron (sel-sel syaraf dan percabangannya) anak bersambung terus
menerus. Makanya sering dikatakan kalau anak dipeluk, dia akan bertambah
cerdas karena koneksi neuronnya bertambah banyak.
Selama orangtua bercerita, acap kali anak bertanya ini itu. Entah
bertanya tentang tokoh, kejadian dalam cerita, dan sebagainya. Ini
mengindikasikan telah terjadi komunikasi yang baik antara anak dan
orangtua. Bila selama ini hal itu mungkin belum tercipta, dengan
mendongeng dan ‘sesi’ tanya jawab di dalamnya akan melancarkan saluran
komunikasi yang tersumbat.
Kegiatan mendongeng ini pun bisa mengembangkan imajinasi
anak. Ketika orangtua memulai cerita dengan kalimat,
“Dulu, ada seorang raksasa…,” maka segera saja daya imajinasi anak
bekerja dan membayangkan sosok raksasa tersebut. Selama orangtua
bercerita, imajinasi anak terus berlarian mengikuti jalan cerita.
Pengembangan daya imajinasi ini penting sebagai dasar mengembangkan
kreativitas anak, dan ini bisa didapat dari kegiatan mendongeng.
Kegiatan mendongeng pun akan
mendorong anak untuk gemar membaca. Anak yang sering didongengkan waktu
kecil, hampir pasti akan senang membaca. Setelah mendengar
dongeng, anak-anak akan punya keinginan untuk membaca sendiri kisah
tersebut dari buku-buku. Sekali dia merasakan keasyikan membaca, mereka
akan terus senang membaca. (baca juga : Cara mengajarkan matematika pada anak)
Sebentar, tetapi sering
Banyak orangtua dan guru yang tidak membiasakan mendongeng
karena merasa tak bisa bercerita, apalagi bila mereka harus bercerita
dengan gaya yang menarik. Untuk mengatasi kendala ini, pertama, orangtua harus mulai ‘belajar’ bicara kepada anak dengan
lebih hangat. Berikan lebih banyak pujian ketimbang kritikan. Kalau
anak diperlakukan dengan hangat, dia akan menjadi orang yang hangat.
Sementara kalau anak diperlakukan dengan keras, mereka akan jadi keras. Bicara dengan kehangatan ini akan membuat kedekatan dan
keakraban hingga kemudian dalam kondisi itu orangtua akan mudah
menceritakan apa saja pada anak, termasuk mendongeng. Anak-anak pun akan
terbuka kepada orangtuanya.
Kedua, agar orangtua bisa bercerita tentu saja orangtua harus banyak
membaca buku. Apalagi biasanya buku cerita anak-anak itu tidak terlalu
tebal, jadi tidak menghabiskan waktu orangtua untuk membaca dan
menceritakannya kembali kepada anak-anak. Untuk memulai, orangtua memang
bisa mengambil cerita dari buku, selanjutnya apa saja yang terjadi di
sekitar kita bisa menjadi cerita. Semua kejadian bisa diceritakan secara
menarik, terutama bila orangtua telah terbiasa bercerita.
Sekali bercerita, tak perlu terlalu lama. Sekitar 15 menit sampai 20
menit, cukuplah, karena untuk usia tertentu, misalnya usia balita,
perhatian anak-anak cepat teralihkan kepada hal lainnya. Tapi untuk usia
yang lebih besar, bisa jadi waktu bercerita bisa sampai 1 jam atau
lebih, apalagi bila ceritanya menarik.Yang terpenting bukanlah lamanya waktu bercerita. Yang
penting adalah kualitas dan kuantitasnya. Walau cuma beberapa menit,
tapi dilakukan setiap hari, akan lebih efektif dibanding satu atau dua
jam tetapi dilakukan hanya sekali sebulan.
Saat yang tepat untuk bercerita pun tak mesti menjelang tidur sebagaimana yang selama ini kita pahami sebagai waktu mendongeng. Kalau anak mau tidur malam biasanya banyak sekali hambatannya, entah sudah sangat mengantuk, ada PR yang belum selesai, orangtua yang capek karena baru pulang dan sebagainya. Maka untuk mendongeng, tak perlu menunggu waktu tidur. Bercerita atau mendongenglah kapan pun selagi sempat.
Jadi, melihat berbagai keutamaan mendongeng bagi perkembangan anak,
semestinya orangtua dan guru mulai membiasakan diri untuk mendongeng
kapan saja. Jangan mau dikalahkan televisi atau bermacam bentuk game,
karena pada dasarnya anak lebih suka berdekatan dan mendengarkan cerita
dari orangtuanya sendiri. (baca juga : 8 Manfaat kismis untuk kesehatan)
#membentuk karakter anak melalui dongeng, #anak, #balita, #dongeng, #cerita, #membentuk karakter anak melalui cerita, #pendidikan anak, #cara mendidik anak, #cara membentuk karakter anak, #cara membentuk karakter, #balita, #batita, #cara mendidik, #keluarga, #tips keluarga